Skip to main content

Fiqih Mawaris 3 ( Penerima Warisan)

B.  ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN
Setiap ilmu tentunya memiliki asas tertentu yang menjadi ciri khas dalam disiplinnya. Demikian juga ilmu waris Islam memiliki asas yang khusus yang digali dari sumbernya sebagaimana yang dijelaskan berikut. Asas kewarisan yang terdapat dalam sumber hukum Ilmu Faraidh, baik yang digali dari al-Qur’an ataupun al-Sunnah dapat dikalsifikasi menjadi beberapa bagian, antara lain adalah:
a.       Asas Ijbari. Kata Ijabari secara bahasa dapat diartikan “paksaan”, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Dalam hal ini hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta seorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendiri. Artinya pemberi waris tidak memiliki perbuatan hukum baik untuk menolak atau menghalanginya terjadinya peralihan harta tersebut. Dengan kata lain, bahwa dengan meninggalnya pemberi waris maka hartanya langsung dapat berpindah tangan kepada penerima warisan, apakah ia suka menerima atau tidak dengan tampa perkecualian. Ijbar ini dapat dilihat pada tiga sisi: 1). Segi peralihan harta. 2). Segi jumlah harta yang beralih. 3). Segi penerima warisan. Ketentuan asas ini bersumber pada firman Allah an-Nisa’ (4) ayat 7: dimana kata  “Nashib" pada ayat yang dimaksud  dapat berarti saham, jatah, bagian dari harta peninggalan si pewaris sebagaimana yang dimaksud ayat tersebut. Ayat 7 (tujuh) yang dimaksud adalah:
ِللرِّجَالِ   نَصِيْبٌ   ِمَّما تَرَكَ  الْوَالِدَانِ وَ  اْلأَقْرَبُوْنَ وَ  لِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِداَنِ وَ الأَقْرَبُوْنَ مِمّا قَلَّ أَوْ كَثُرَ نَصِيْبًأ مَفْرُوْضًا
Artinya:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi bagi istri ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut yang telah ditetapkan
b.      Asas Bilateral, yaitu seorang dapat menerima hak warisan dari dua jalur; ibu dan ayah. Asas ini secara tegas ditemui dalam ketentuan al-Qur’an surat an-Nisa’ (4) ayat 7 di atas dan berikut  11 –surat al-Nisa'- seperti berikut:
يُوصِيكُمْ االلهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لاَ تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنْ الله ِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya:
Allah perintahkan kamu mengenai (pembahagian harta pusaka untuk) anak-anak kamu, iaitu bahagian seorang anak elaki menyamai bahagian dua orang anak perempuan. Tetapi jika anak-anak perempuan itu lebih dari dua, maka bahagian mereka ialah dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh si mati. Dan jika anak perempuan itu seorang saja, maka bahagiannya ialah satu perdua (separuh) harta itu. Dan bagi ibu bapa (si mati), tiap-tiap seorang dari keduanya: satu perenam dari harta yang ditinggalkan oleh si mati, jika si mati itu mempunyai anak. Tetapi jika si mati tidak mempunyai anak, sedang yang mewarisinya hanyalah kedua ibu bapaknya, maka bahagian ibunya ialah satu pertiga. Kalau pula si mati itu mempunyai beberapa orang saudara (adik-beradik), maka bahagian ibunya ialah satu perenam. (Pembahagian itu) ialah sesudah diselesaikan wasiat yang telah diwasiatkan oleh si mati, dan sesudah dibayarkan hutangnya. lbu-bapa kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antaranya yang lebih dekat serta banyak manfaatnya kepada kamu (Pembahagian harta pusaka dan penentuan bahagian masing-masing seperti yang diterangkan itu ialah) ketetapan dari Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.
Demikian juga beberapa ayat berikut ini, seperti ayat 12 (dua belas) surat al-Nisa' berikut:
وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمْ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوْ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ  مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنْ اللهِ وَاالله ُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ
Artinya:
Dan bagi kamu satu perdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isteri kamu jika mereka tidak mempunyai anak. Tetapi jika mereka mempunyai anak maka kamu beroleh satu perempat dari harta yang mereka tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang mereka wasiatkan dan sesudah dibayarkan hutangnya. Dan bagi mereka (isteri-isteri) pula satu perempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Tetapi kalau kamu mempunyai anak maka bahagian mereka (isteri-isteri kamu) ialah satu perlapan dari harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang kamu wasiatkan, dan sesudah dibayarkan hutang kamu. Dan jika si mati yang diwarisi itu, lelaki atau perempuan, yang tidak meninggalkan anak atau bapa, dan ada meninggalkan seorang saudara lelaki (seibu) atau saudara perempuan (seibu) maka bagi tiap-tiap seorang dari keduanya ialah satu perenam. Kalau pula mereka (saudara-saudara yang seibu itu) lebih dari seorang, maka mereka bersekutu pada satu pertiga (dengan mendapat sama banyak lelaki dengan perempuan), sesudah ditunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh si mati, dan sesudah dibayarkan hutangnya; wasiat-wasiat yang tersebut hendaknya tidak mendatangkan mudarat (kepada waris-waris). (Tiap-tiap satu hukum itu) ialah ketetapan dari Allah. Dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Penyabar.
Selanjutnya yang dijadikan sandaran juga adalah ayat 176 surat al-Nisa' sebagai berikut:
يَسْتَفْتُونَكَ قُلْ اللهُُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلاَلَةِ إِنْ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالاً وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللهُُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Artinya:
Mereka  meminta fatwa kepadamu. Katakanlah: “Allah membei fatwa kepada kamu tentang kalalah: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempnyia saudara perempuan, maka baginyanya seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mepusakainya jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orng, maka bagi keduanya dua pertiga dari  harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka saudara-saudara laki-laki dan perempaun, maka bahagian saudara laki-laki sebanyak bahagian dua saudara perempuan. Allah menreankan kepada kamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Dalam beberapa ayat tersebut dijelaskan bahwa seorang dapat mewarisi warisan keluarganya, baik dari pihak laki-laki dan perempuan.
c.       Asas Individual, yaitu bahwa setiap orang berhak atas bagian yang didapatinya tampa terkait dengan ada atau tidak adanya pada ahli waris lainnya. Dengan demikian bagian yang diperoleh seorang dari harta warisan adalah dapat dimiliki secara perorangan dan tidak ada sangkut pautnya ahli waris lain terhadap harta yang diterimanya, sehingga ia memiliki kebebasan penuh terhadap harta yang diterimanya. Ketentuan atas asas ini adalah berdasarkan ayat 7 surat al-Nisa’, dimana disana dijelaskan bagian masing-masing orang.
d.      Asas Keadilan Berimbang, yaitu asas yang mengarahkan kepada perimbangan antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan, sehingga faktor jenis kelamin tidak menentukan dalam hak kewarisan. Hal ini berbeda dengan yang diberlakukan pada adat yang dikenal dengan garis keturunan patrinial, yaitu garis keturunan yang ditarik dari keturunan bapak Sementara dasar hukum asas peimbangan ini adalah surat an-Nisa’ ayat 7, 11, 12, dan 176 sebagaimana telah disebutkan.
e.       Asas Kewarisan Semata Akibat Kematian, yaitu bahwa hukum waris Islam memandang terjadinya pewarisan semata-semata disebabkan adanya kematian yang pemberi warisan. Sementara harta yang diberikan pada saat pemberi warisan masih hidup bukanlah dinamakan harta warisan, melainkan hibah atau wasiat
Itulah asas pokok Ilmu Mawaris Islam, bila salah satu dari asas itu tidak terpenuhi maka jelas tidak dikatakan Ilmu Waris Islam. Keberadaan Ilmu Mawaris dengan segala asas yang dikandungnya adalah bersumber dari beberapa sumber yang akan dijelaskan berikut.
 
Artikel Terkait :

Popular posts from this blog

6 CIRI HIDUP MAPAN, KAMU TERMASUK NGGAK ?

Hidup mapan adalah dambaan dan kewajiban setiap orang. Karena kita diberi Allah kekayaan dan kecukupan, bukan kekayaan dan kemiskinan. Jadi siapa yang menjadikan kita miskin, adalah diri kita sendiri, akibat tidak merencanakan keuangan dengan baik, sehingga timpang dan tidak proporsional dalam membagi pos-pos keuangan. Beberapa contohnya karena tidak mengeluarkan hak Allah, pelit dalam berinfak sedekah, boros, dan banyak mengeluarkan harta secara sia-sia. Rejeki memang Allah yang memberi, namun manusialah yang seharusnya pandai mengatur agar cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan baik di dunia dan akherat kelak, sehingga kemapanan dapat dicapai. Aidil Akbar Madjid dalam kata-kata mutiaranya menulis, jika hidupmu mapan, maka wajahmu (yang tak tampan) akan termaafkan. ” Sepakat, karena setelah mapan, ketampanan itu bisa diusahakan. So, jika hidupmu mapan, pasangan rupawanpun bukan sekedar impian. Ya kan? Banyak orang mengasosiasikan hidup mapan dengan aset yang dimili...

NAFKAH ANAK PASCA BERCERAI, TANGGUNGJAWAB SIAPA ?

Sering sekali, pasca cerai, mantan istri banting tulang bak roller coaster demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Suami? Kan kita sudah cerai, dan kamu udah nikah lagi. Pernah dengar yang begini?  Lalu, sebenarnya kewajiban siapakah?  1. Secara syariah  Setiap manusia – selain Adam, Hawa, dan Isa–, tercipta dari satu ayah dan satu ibu. Karena itu, dalam aturan agama apapun, tidak ada istilah mantan anak, atau mantan bapak, atau mantan ibu. Karena hubungan anak dan orang tua, tidak akan pernah putus, sekalipun berpisah karena perceraian atau kematian. Berbeda dengan hubungan karena pernikahan. Hubungan ini bisa dibatalkan atau dipisahkan. Baik karena keputusan hakim, perceraian, atau kematian. Di sinilah kita mengenal istilah mantan suami, atau mantan istri. Dalam islam, kewajiban memberi nafkah dibebankan kepada ayah, dan bukan ibunya. Karena kepada keluarga, wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya, istri dan anak-anaknya. Keterang...

Wakaf, Mengapa Harus Menjadi Bagian dari Perencanaan Keuangan Muslim?

WAKAF Planning Menggunakan Produk Keuangan "Endowment". Saat ini Wakaf menjadi gerakan untuk menggalang dana beasiswa. Beberapa kampus di Indonesia, menerbitkan produk Reksadana Endowment, Deposito Endowment. Contohnya salah satu kampus di Jawa Barat & Jakarta bekerjasama dengan Manajer Investasi menerbitkan produk Reksadana Endowment, dimulai dari dana Lumpsum yang telah dimiliki, kemudian ditambah dana dari para alumni, mulai besaran 100rb, bahkan 10 ribu per penempatan. Imbal hasil atau keuntungan digunakan untuk membiayai UKT ataupun biaya hidup mahsiswa-mahasiwa yang kesulitan yang tidak tercover oleh beasiswa semacam bidikmisi dsb, sedangkan pokok, menjadi dana abadi yang semakin membesar. Bagaimana dengan Almamatermu? Sudahkah juga menerbitkan Reksadana Endowment? Dibawah adalah contoh Merencanakan Wakaf yang kita wajibkan dalam Perencanaan Keuangan seorang Muslim, dimana penyalurannya salah satunya melalui RD endowment. Mengapa Wakaf harus menjadi Bagian dari Per...