Keuangan baik banyak atau pun sedikit jumlahnya, menjadi salah satu
penyebab perselisihan dalam keluarga, bahkan masalah ekonomi (suami
tidak bisa menafkahi) adalah penyebab utama perceraian.
Data Kementerian Agama, dari 2 juta pernikahan setiap tahun, ada 200 ribuan yang bercerai. Oleh karena itu pemahaman masing-masing pasangan akan pengelolaan, kesepakatan dalam ekonomi rumah tangga sangat penting untuk disepakati dari awal.
Sedikitnya isu terkait keuangan dapat menjadi gangguan dalam pernikahan antara lain:
1. Beban Utang Masa Lalu
Data Kementerian Agama, dari 2 juta pernikahan setiap tahun, ada 200 ribuan yang bercerai. Oleh karena itu pemahaman masing-masing pasangan akan pengelolaan, kesepakatan dalam ekonomi rumah tangga sangat penting untuk disepakati dari awal.
Sedikitnya isu terkait keuangan dapat menjadi gangguan dalam pernikahan antara lain:
1. Beban Utang Masa Lalu
Kebanyakan orang menikah mempunyai beban keuangan bawaan seperti kredit mobil, kartu kredit atau beban keuangan lain, seperti memberi tunjangan keuangan kepada keluarga, atau bahkan beban hutang untuk biaya pernikahan.
Kasus yang sering terjadi, utang untuk biaya pernikahan ini, hingga sudah memiliki 2 orang anak, belum juga lunas. Biasanya ini dialami oleh pasangan pria. Jika satu pihak memiliki utang lebih banyak dari yang lain, atau lebih buruk lagi jika pasangannya bebas utang. Kewajiban membayar utang dapat menjadi lahan subur perselisihan. Oleh karena itu keterbukaan di awal sebelum menikah tentang kondisi utang ini sangat penting, termasuk bagaimana angsurannya, apakah menjadi beban/tanggungan masing-masing, atau bersama.
Jangan sampai istri syok, bengong dan menangis di depan Financial Plannernya, karena baru mengetahui dan merasa bersalah, bahwa pernikahan yang sudah berlangsung hampir 7 tahun tersebut biayanya belum lunas, sedang si istri merasa, 'suamiku bergaji cukup', sehingga minta dibelikan motor atau mobil baru.
2. Kepribadian Keuangan
Pasangan suami istri (pasutri) tanpa utang bisa berselisih soal uang. Penyebabnya adalah perbedaan kepribadian keuangan, yang dapat dikelompokkan menjadi 5 tipe: big spender (suka membeli barang mewah), saver (orang hemat), shopper (orang yang suka berbelanja), debtor (orang yang berani berutang) dan investor.
Pembelian barang bermerek oleh big spender dan hobi belanja oleh shopper, sering menjadi sumber keluhan pasangannya. Untuk menanganinya, semasa belum memasuki jenjang pernikahan, jujurlah tentang kepribadian Anda sehingga pasangan hidup mengetahui sejak dini sehingga dapat membantu mengatasi kecenderungan negatif dari kepribadian keuangan, misal membuat rekening tersendiri untuk alokasi budget barang mewah atu shoppingnya.
3. Pekerjaan dan Penghasilan
Suami bekerja, istri tidak. Atau suami menganggur dan istri tetap bekerja. Atau suami-istri bekerja tetapi salah satunya memiliki penghasilan lebih besar dari yang lain. Orang tua si istri memiliki banyak uang dan orang tua si suami miskin. Berbagai ketimpangan di atas sering memunculkan permainan kekuasaan.
Penghasil uang lebih banyak cenderung ingin mendiktekan prioritas pengeluaran. Salah satu solusinya: mempercayakan keputusan pengeluaran ke pasangan berpenghasilan lebih rendah.
4. Pengelolaan Keuangan
Suami atau istri saja yang bekerja, atau keduanya sama-sama bekerja, perlu disepakati pengelolaan keuangan yang dipakai. Pada prinsipnya ada 3 pilihan, yaitu :
- 'Suami: Semua uang milik istri'. Suami menanggung semua pengeluaran, penghasilan istri terserah istri, hendak digunakan untuk apa.
- Sistem 1 keranjang 'uangmu dan uangku'. Penghasilan suami ditambah (sebagian) penghasilan istri disetor ke dalam rekening bersama, kemudian digunakan untuk membayar pengeluaran.
- Sistem 2 keranjang 'uangku-uangku, uangmu-uangmu'. Masing-masing membayar beban, suami membayar beban pengeluaran a,b,c,d, istri membayar pengeluaran e,f,g,h misalnya.
5. Keluarga Besar
Keluarga besar dapat menjadi sumber perselisihan. Sebuah keluarga sudah menabung untuk membeli kendaraanl baru. Pada saat yang sama, ibu si istri ingin ingin mengadakan hajatan, orang tua suami memerlukan dana tambahan untuk berobat. Kakak si istri, yang dulu turut membiayai sekolah si istri, kehilangan pekerjaan dan membutuhkan bantuan.
Kakak si suami tidak dapat membayar uang kuliah anaknya. Kebutuhan keluarga sering berdampak langsung ke dompet sebuah keluarga. Bagaimana keluarga tersebut harus menangani masalah ini? Memiliki kebijakan yang disepakati di muka dapat membantu mencegah atau meminimalisasi masalah. Bahwa saudara adalah lingkaran terdekat yang berhak mendapatkan bantuan, maka prioritaskan mana yang akan dibantu, terkecuali ada dana yang bisa digunakan untuk membantu semua. Dalam hal ini sebenarnya pos sosial bisa digunakan.
6. Anak-anak
Anak-anak sering menjadi sumber persoalan. Memiliki atau tidak memiliki anak (dan berapa?) adalah satu persoalan. Setelah memiliki anak, persoalannya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan mereka yang ragam dan nilainya terus meningkat, mulai dari biaya pemeriksaan saat kehamilan, kelahiran, kesehatan, biaya pendidikan, pernikahannya kelak, dll. Pastikan Amanah anak ini terdidik dan terpenuhi kebutuhannya dengan baik.
7. Kondisi Keuangan Sedang Ketat
Perselisihan pasangan suami istri soal keuangan umumnya terjadi ketika kondisi keuangan sedang ketat. Namun keberadaan aset/harta, khususnya tentang cara memanfaatkan aset yang ada, juga dapat menjadi sumber perselisihan, misalnya apakah hendak menjual aset atau cukup dengan menyewakan.
Beberapa masalah keuangan ini jika tidak disepakati dan diantisipasi dari awal sebelum menikah, akan berdampak fatal yang dapat berakhir dengan perceraian. Apa nikmatnya pernikahan jika tidak ada kesepakatan? Yang terjadi adalah saling menuntut hak dan kewajiban, bukan lagi tentang cinta dan kasih sayang. Ada baiknya berkonsultasi ke Perencana Keuangan Anda untuk kehidupan berumah tangga yang harmonis. Salam finansial!
Artikel telah dimuat di detik.com 23 desember 2016
https://goo.gl/LQuh5C