Skip to main content

KEUANGAN DAN PERNIKAHAN


Ila Abdulrahman, RFC® |

Keuangan  baik banyak ataupun sedikit jumlahnya, menjadi salah satu penyebab perselisihan dalam keluarga, bahkan masalah ekonomi (suami tidak bisa menafkahi) adalah penyebab utama perceraian. Data kemenag, dari 2 juta pernikahan setiap tahun, ada 200 ribuan yang bercerai. Oleh karena itu pemahaman masing-masing pasangan akan pengelolaan, kesepakatan dalam ekonomi rumah tangga sangat penting untuk disepakati dari awal.

Sedikitnya isu terkait keuangan dapat menjadi gangguan dalam pernikahan antara lain:

  1. Beban Hutang Masa Lalu

Kebanyakan orang menikah mempunyai beban keuangan bawaan seperti kredit mobil, kartu kredit atau beban keuangan lain, seperti memberi tunjangan keuangan kepada keluarga, atau bahkan beban hutang untuk biaya pernikahan. Kasus yang sering terjadi, hutang untuk biaya pernikahan ini, hingga sudah memiliki 2 orang anak, belum juga lunas. Biasanya ini dialami oleh pasangan pria.  Jika satu pihak memiliki utang lebih banyak dari yang lain, atau lebih buruk lagi jika pasangannya bebas utang. Kewajiban membayar utang dapat menjadi lahan subur perselisihan. Oleh karena itu keterbukaan diawal sebelum menikah tentang kondisi hutang ini sangat penting, termasuk bagaimana angsurannya, apakah menjadi beban/tanggungan masing-masing, atau bersama. Jangan sampai istri, syok, bengong dan menangis di depan Financial Plannernya, karena baru mengetahui dan merasa bersalah, bahwa pernikahan yang sudah berlangsung hampir 7 tahun tersebut biayanya belum lunas, sedang si istri merasa, “suamiku bergaji cukup,” sehingga minta dibelikan motor atau mobil  baru.

  1. Kepribadian Keuangan. 

Pasangan suami istri (pasutri) tanpa utang bisa berselisih soal uang. Penyebabnya adalah perbedaan kepribadian keuangan, yang dapat dikelompokkan menjadi 5 tipe: big spender (suka membeli barang mewah), saver (orang hemat), shopper (orang yang suka berbelanja), debtor (orang yang berani berutang) dan investor. Pembelian barang bermerek oleh big spender dan hobi belanja oleh shopper,  sering menjadi sumber keluhan pasangannya. Untuk menanganinya, semasa belum memasuki jenjang pernikahan, jujurlah tentang kepribadian Anda sehingga pasangan hidup mengetahui sejak dini sehingga dapat membantu mengatasi kecenderungan negatif dari kepribadian keuangan, misal membuat rekening tersendiri untuk alokasi budget barang mewah atu shoppingnya.

  1. Pekerjaan dan Penghasilan

Suami bekerja, istri tidak. Atau suami menganggur dan istri tetap bekerja. Atau suami-istri bekerja tetapi salah satunya memiliki penghasilan lebih besar dari yang lain. Orang tua si istri memiliki banyak uang dan orang tua si suami miskin. Berbagai ketimpangan di atas sering memunculkan permainan kekuasaan. Penghasil uang lebih banyak cenderung ingin mendiktekan prioritas pengeluaran. Salah satu solusinya: mempercayakan keputusan pengeluaran ke pasangan berpenghasilan lebih rendah. 

  1. Pengelolaan Keuangan

Suami atau istri  saja yang bekerja, atau keduanya sama-sama bekerja, perlu disepakati pengelolaan keuangan yang dipakai. Pada prinsipnya ada 3 pilihan, yaitu :

  • Suami: Semua uang milik istri”. Suami menanggung semua pengeluaran, penghasilan istri terserah istri, hendak digunakan untuk apa.

  • Sistem 1 keranjang”uangmu dan uangku”. Penghasilan suami  ditambah (sebagian) penghasilan istri disetor ke dalam rekening bersama, kemudian digunakan untuk membayar pengeluaran.

  • Sistem 2 keranjang “uangku-uangku, uangmu-uangmu”. Masing-masing membayar beban, suami membayar beban pengeluaran a,b,c,d, istri membayar pengeluaran e,f,g,h misalnya.

  1. Keluarga Besar 

Keluarga besar dapat menjadi sumber perselisihan.. Sebuah keluarga sudah menabung untuk membeli kendaraanl baru. Pada saat yang sama, ibu si istri ingin ingin mengadakan hajatan, orang tua suami memerlukan dana tambahan untuk berobat. Kakak si istri, yang dulu turut membiayai sekolah si istri, kehilangan pekerjaan dan membutuhkan bantuan. Kakak si suami tidak dapat membayar uang kuliah anaknya. Kebutuhan keluarga sering berdampak langsung ke dompet sebuah keluarga. Bagaimana keluarga tersebut harus menangani masalah ini? Memiliki kebijakan yang disepakati di muka dapat membantu mencegah atau meminimalisasi masalah. Bahwa saudara adalah lingkaran terdekat yang berhak mendapatkan bantuan, maka prioritaskan mana yang akan dibantu, terkecuali ada dana yang bisa digunakan untuk membantu semua. Dalam hal ini sebenarnya pos sosial bisa digunakan.

  1. Anak-anak

Anak-anak sering menjadi sumber persoalan. Memiliki atau tidak memiliki anak (dan berapa?) adalah satu persoalan. Setelah memiliki anak, persoalannya adalah bagaimana memenuhi kebutuhan mereka yang ragam dan nilainya terus meningkat, mulai dari biaya pemeriksaan saat kehamilan, kelahiran, kesehatan, biaya pendidikan, pernikahannya kelak, dll. Pastikan Amanah anak ini terdidik dan terpenuhi kebutuhannya dengan baik.

  1. Kondisi Keuangan Sedang Ketat

Perselisihan pasangan suami istri soal keuangan umumnya terjadi ketika kondisi keuangan sedang ketat. Namun keberadaan asset/harta, khususnya tentang cara memanfaatkan aset yang ada, juga dapat menjadi sumber perselisihan., misalnya apakah hendak menjual aset atau cukup dengan menyewakan.

Kasus married Planning pernah gagal, karena bebean hutang masa lalu. Saat itu, calon mempelai pria datang ke SHILA FInancial untuk berkonsultasi, perenacanan keuangan apa saja, bagi mereka yang akan menikah. Pada akhirnya pernikahan dibatalkan, karena calon pengantin perempuan memiliki beban hutang Kartu Kredit sebesar Rp 200jutaan, yang ketika pendalaman di gunakan untuk konsumtif.

Diskusi tidak menemukan titik temu, setelah menikah bagaimana hutang tersebut? Pihak wanita ingin itu dilunasi oleh pihak pria nantinya, sedangkan pihak pria tidak bersedia. Dan Pihak Pria khawatair, setelah menikah nanti "konsumtif" ini akan menjadi penyakit yang tidka dapat sembuh.

Beberapa masalah keuangan ini jika tidak disepakati dan diantisipasi dari awal sebelum menikah, akan berdampak fatal yang dapat berakhir dengan perceraian. Apa nikmatnya pernikahan  jika tidak ada kesepakatan? Yang terjadi adalah saling menuntut hak dan kewajiban, bukan lagi tentang cinta dan kasih sayang. Ada baiknya berkonsultasi ke Perencana Keuangan Anda untuk kehidupan berumah tangga yang harmonis. 

Salam finansial!


Popular posts from this blog

6 CIRI HIDUP MAPAN, KAMU TERMASUK NGGAK ?

Hidup mapan adalah dambaan dan kewajiban setiap orang. Karena kita diberi Allah kekayaan dan kecukupan, bukan kekayaan dan kemiskinan. Jadi siapa yang menjadikan kita miskin, adalah diri kita sendiri, akibat tidak merencanakan keuangan dengan baik, sehingga timpang dan tidak proporsional dalam membagi pos-pos keuangan. Beberapa contohnya karena tidak mengeluarkan hak Allah, pelit dalam berinfak sedekah, boros, dan banyak mengeluarkan harta secara sia-sia. Rejeki memang Allah yang memberi, namun manusialah yang seharusnya pandai mengatur agar cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan baik di dunia dan akherat kelak, sehingga kemapanan dapat dicapai. Aidil Akbar Madjid dalam kata-kata mutiaranya menulis, jika hidupmu mapan, maka wajahmu (yang tak tampan) akan termaafkan. ” Sepakat, karena setelah mapan, ketampanan itu bisa diusahakan. So, jika hidupmu mapan, pasangan rupawanpun bukan sekedar impian. Ya kan? Banyak orang mengasosiasikan hidup mapan dengan aset yang dimili...

NAFKAH ANAK PASCA BERCERAI, TANGGUNGJAWAB SIAPA ?

Sering sekali, pasca cerai, mantan istri banting tulang bak roller coaster demi memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Suami? Kan kita sudah cerai, dan kamu udah nikah lagi. Pernah dengar yang begini?  Lalu, sebenarnya kewajiban siapakah?  1. Secara syariah  Setiap manusia – selain Adam, Hawa, dan Isa–, tercipta dari satu ayah dan satu ibu. Karena itu, dalam aturan agama apapun, tidak ada istilah mantan anak, atau mantan bapak, atau mantan ibu. Karena hubungan anak dan orang tua, tidak akan pernah putus, sekalipun berpisah karena perceraian atau kematian. Berbeda dengan hubungan karena pernikahan. Hubungan ini bisa dibatalkan atau dipisahkan. Baik karena keputusan hakim, perceraian, atau kematian. Di sinilah kita mengenal istilah mantan suami, atau mantan istri. Dalam islam, kewajiban memberi nafkah dibebankan kepada ayah, dan bukan ibunya. Karena kepada keluarga, wajib menanggung semua kebutuhan anggota keluarganya, istri dan anak-anaknya. Keterang...

Wakaf, Mengapa Harus Menjadi Bagian dari Perencanaan Keuangan Muslim?

WAKAF Planning Menggunakan Produk Keuangan "Endowment". Saat ini Wakaf menjadi gerakan untuk menggalang dana beasiswa. Beberapa kampus di Indonesia, menerbitkan produk Reksadana Endowment, Deposito Endowment. Contohnya salah satu kampus di Jawa Barat & Jakarta bekerjasama dengan Manajer Investasi menerbitkan produk Reksadana Endowment, dimulai dari dana Lumpsum yang telah dimiliki, kemudian ditambah dana dari para alumni, mulai besaran 100rb, bahkan 10 ribu per penempatan. Imbal hasil atau keuntungan digunakan untuk membiayai UKT ataupun biaya hidup mahsiswa-mahasiwa yang kesulitan yang tidak tercover oleh beasiswa semacam bidikmisi dsb, sedangkan pokok, menjadi dana abadi yang semakin membesar. Bagaimana dengan Almamatermu? Sudahkah juga menerbitkan Reksadana Endowment? Dibawah adalah contoh Merencanakan Wakaf yang kita wajibkan dalam Perencanaan Keuangan seorang Muslim, dimana penyalurannya salah satunya melalui RD endowment. Mengapa Wakaf harus menjadi Bagian dari Per...